Pernah suatu ketika, saat semua terasa putih tidak pernah terlintas akan ada
hitam dan kemudian semua berubah menjadi abu-abu. Karena terlalu kerdilnya
logika, namun perasaan dibiarkan merambat hingga memenuhi rongga dada. Seharusnya
aku menyisakan sedikit ruang untuk membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi nun jauh di masa depan. Apalah daya, keberlaluan ini semakin membuatku
terhujam oleh pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi penyesalanku sendiri. Mengapa?
Mengapa aku begitu mudah membiarkan hatiku merapuh dengan bayang-bayang cinta
yang kau tawarkan?
Kelam yang beranjak dan siang yang telah terbuka. Aku masih gontai dalam
harapan yang belum sempat ku padamkan. Lalu membunuhnya satu persatu, bagai aku
mencabut nyawa-nyawa cinta yang tengah menggeliat hidup di sini. Entah bagaimana
caranya agar semua mampu terlihat biasa, karena tanpamu aku belum pernah bisa
biasa. Barangkali hidup ingin mengajariku tentang arti sebuah penantian,
walaupun mungkin penantian ini tak kunjung menemui sebentuk sua. Tetapi, paling
tidak aku telah berdiri sebagai seseorang yang menang. Menang dalam hal
mencintaimu dengan kesederhanaan, sebagai sesuatu yang menerimamu apa adanya.
Geliat kesedihan pernah memenuhi hari-hariku tatkala kabar yang datang
bagai petir yang membawa hujan deras. Berkali-kali aku menghaturkan istighfar, betapa aku telah menyuburkan
sesuatu yang Tuhan ku pun tidak menyarankan itu. Gelora muda jiwa-jiwa rapuh
bagai dendelion yang berterbangan di atas bukit. Yang mengikut kemana arah angin
melaju. Pun seperti pohon ilalang yang selalu riuh kala diterpa angin, meskipun
hanya dengan sekali desiran saja.
Ah, sudahlah. Hatiku yang terenyak pada kenyataan pahit ini harus ku-gula-i
lagi agar ia menjadi seperti kopi yang manis. Kelam dan pekat yang nampak,
namun manis bila dirasakan. Yah, seperti putih yang bertemu dengan hitam lalu
berubah menjadi abu-abu. Hidup memang tak selamanya putih, tak selamanya hitam,
pun tak selamanya abu-abu. Segala yang ada mempunyai kadar masing-masing,
ketika kadarnya telah hilang maka perlahan ia pun akan berganti dengan
sendirinya.
*****
0 komentar:
Post a Comment